Pages

Tuesday, July 24, 2007

Gerakan Intelektual VS Gerakan Massa

Ada hal yang menarik ketika penulis membaca sebuah tulisan opini dari Sdr. Heri Ardhia di Harian Pikiran Rakyat tanggal 21 Mei 2007 kemarin. Disitu beliau mengemukakan bahwasanya gerakan turun ke jalan adalah sebagai alternatif terakhir karena faktanya hari ini efektifitas demo sudah tidak menggigit lagi, tetapi lebih dari sekedar show of force saja. Yang pada akhirnya hasil yang didapat tidak lebih dari sekedar membuat jalan macet dan menjadi sumber berita pada “buruh tulis” wartawan. Berdasarkan opini diatas maka penulis dengan tegas mengatakan bahwasanya apa yang dikemukaan beliau tidak sepenuhnya benar, maka dari itu penulis tertarik untuk memberikan opini tandingan sebagai wahana pandangan baru dengan harapan supaya kita tidak sekedar menangkap informasi yang sepotong.
Pertama-tama, satu hal yang harus disadari bahwa karakter gerakan mahasiswa tidak bisa dipisahkan satu dan yang lainya. Entahkan sebagai gerakan intelektual, moral, kultural maupun massa. Dia seperti satu mata rantai yang sulit untuk dipisahkan karena memang sejatinya gerakan mahasiswa bersifat general bukannya parsial. Gerakan mahasiswa juga terlahir dan berangkat dari tataran idealisme yang visioner bukan reaksioner serta memiliki kekhasan tersendiri berupa perangkat-perangkat dengan ciri dan format yang berbeda. Hal ini biasanya ditunjukan dalam rencana strategi (renstra) gerakan mahasiswa. Perangkat-perangkat yang penulis maksud bisa meliputi tujuan gerakan, targetan gerakan, sasaran gerakan, format gerakan dan alur gerakan. Adapun tujuan gerakan berupa hal-hal yang menjadi cita-cita besar dari gerakan tersebut, targetan gerakan lebih kepada capaian terdekat yang menjadi indikator keberhasilan sebuah gerakan, sasaran gerakan adalah kepada siapa gerakan ini akan dituju, format gerakan berupa sarana-sarana apa saja yang digunakan untuk mecapai keberhasilan gerakan tersebut apakah dengan audiensi, publikasi atau demonstrasi. Dan terakhir mengenai alur gerakan lebih kepada strategi pencapaian tujuan gerakan tersebut, Apakah ingin publikasi, demonstrasi atau audiensi terlebih dahulu. Dan alur gerakan ini bisa dilakukan secara fleksibel tergantung making issue yang berkembang di lapangan saat itu.
Seperti dikatakan diawal tadi, kita tidak bisa memandang gerakan mahasiswa hanya dari satu aspek saja, menilai bahwa saat ini hanya gerakan intelektual-lah yang paling baik. Ataupun sebaliknya gerakan massa-lah yang paling efektif. Akan tetapi, semua format tersebut mempunyai porsi dan area concern-nya masing-masing. Contoh saja, gaya gerakan Intelektual tidak bisa sepenuhnya berhasil jika diterapkan kepada para penguasa yang buta rasa sosial. Mau seberapa sering kita berwacana, beraudiensi dan berdiskusi tetap saja tidak ada pengaruhnya. Akan tetapi, akan menjadi lebih efektif ketika memang menggunakan alternatif gerakan massa dengan demonstrasi besar-besaran sebagai pressing movement. Atau pula sebaliknya gerakan massa yang langsung terjun kelapangan tanpa proses kajian yang matang tidak juga efektif bagi kaum tirani yang selalu mengedepankan sisi-sisi rasionalitas melalui ajang diskusi dan diplomasi. Artinya memang disini sangat kondisional, dimana alternatif format gerakan sangat tergantung dengan gaya dan kultur kepimpinan penguasa saat itu.
Salah besar jika dikatakan bahwa gerakan demonstrasi hanya sekedar membuat jalan macet dan menjadi sumber berita pada “buruh tulis” wartawan. Justru gerakan massa yang langsung turun kejalan ini membuktikan bahwa mahasiswa masih memiliki sense of interest terhadap kepentingan rakyat dan selalu berusaha untuk menjadi garda terdepan dengan terjun langsung dalam pendampingan dan pemberdayaan masyarakat melalui gerakan moral dan kultural, bukan hanya duduk di bangku kuliah sambil meningkatkan IPK sehingga lupa dengan arena pertarungan mahasiswa sesungguhnya. Hal ini serupa dengan yang dikemukakan oleh Apriyanto aktivis GMNI, bahwa kunci sukses gerakan mahasiswa adalah kedekatan mereka dengan masyarakat. Jika tidak demikian, gerakan mahasiswa bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Adalah sebuah konsekuensi ketika masuk ke wilayah kerakyatan, maka kampus akan sedikit tertinggal tapi itu harus dilakukan. Karena jika tidak ada pendampingan dan pengorganisasian masyarakat, gerakan mahasiswa akan kehilangan makna sebagai kelompok pendobrak dan pembaharu. Jangan sampai seperti apa yang dikemukakan Indra J Pilliang ada stigma bahwa saat ini mahasiswa telah menjadikan dirinya jauh dari rakyat. Mahasiswa sering sekali mengatasnamakan rakyat setiap kali mengkritisi kebijakan atau menyalurkan aspirasi sementara rakyat sendiri tidak dilibatkan. Yang seharusnya mahasiswa membuat sesuatu yang rumit menjadi mudah dicerna oleh rakyat, tetapi justru kenyataannya adalah mahasiswa semakin membuat rakyat bingung dengan konsep gerakan yang setengah-setengah.
Jika dilihat dari beberapa fakta sejarah dimana Gerakan Massa yang dalam hal ini adalah Aksi Demonstrasi masih mempunyai peran penting dalam menentukan kebijakan pemerintah. Secara Nasional. Pertama, ketika di era reformasi tahun 1998 semua kelompok masyarakat mulai dari LSM, akademisi, seniman, guru dan buruh tani bersama-sama mahasiswa bahu-membahu mendukung penurunan rezim Orde Baru. Mereka berunjuk rasa tumpah ruah ke jalan untuk menggempitakan semangat reformasi, tak hanya sumbangsih tenaga namun dukungan moril dan meteril pun tak segan-segan mereka lakukan demi berhasilnya satu tujuan besar. Yang puncaknya tanggal 21 Mei 1998, Rezim Soeharto jatuh dan kemudian digantingan dengan Pemerintahan Habibie. Kedua, unjuk rasa ratusan warga korban lumpur lapindo di depan Istana Merdeka tanggal 16 April 2007 kemarin, mereka berorasi menuntut pemerintah agar segera merevisi Perpres No. 14 Tahun 2007, mengakomodasi aspirasi warga korban lumpur Lapindo untuk mendapatkan ganti rugi secara \"cash and carry\" atau tunai 100 persen dan penyelesaian ganti rugi tersebut harus tuntas dalam satu bulan terhitung sejak 16 April 2007. Dampaknya adalah Wakil massa sekitar 10 orang langsung diterima Wakil Koordinator Kementerian Kesejahteraan Rakyat (Kesra) dan pasca pertemuan tersebut disepakati bahwa pembayaran ganti rugi akan segera dilakukan minimal selambat-lambatnya setahun setelah pertemuan tersebut dari dua tahun yang sebelumnya pernah disepakati. Ketiga, aksi unjuk rasa oleh mahasiswa dan masyarakat menolak pemberlakuan Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2006 tentang kenaikan dana tunjangan kinerja DPRD. Mereka menilai bahwa kebijakan tersebut benar-benar tidak memihak kepada rakyat yang sedang dilanda kemiskinan, juga bertentangan dengan tujuh peraturan perundang-undangan. Bahkan ini dianggap sebagai modus baru Pemerintah berkolusi dengan partai politik untuk merampok uang rakyat. Outputnya dari aksi tersebut adalah PP 37/2006 tidak jadi diberlakukan dan kemudian berhasil untuk direvisi kembali. Keempat, Unjuk rasa mahasiswa menolak pengadaan laptop bagi 500 angota DPR dan hasilnya fantastis pembelian laptop itupun akhirya dibatalkan. Kelima, aksi demonstrasi pada Senin, 23 April 2007 dimana sekitar 80 orang anggota berbagai organisasi massa Islam berunjuk rasa didepan kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Kawasan Kuningan Jakarta Selatan. Mereka berteriak lantang menolak kedatangan delegasi dari parlemen Israel ke Indonesia dan menuntut agar pihak departemen menolak visa masuk dari delegasi Israel ke Indonesia. Dan efeknya luar biasa delegasi Israelpun mengurungkan niatnya untuk berangkat ke Indonesia dengan alasan keamanan.
Belum selesai disitu, secara internasional, peristiwa di Filipina yang dikenal dengan The People Power juga dapat menjadi contoh. Seluruh elemen masyarakat, tidak hanya Gerakan Mahasiswa, menuntut Presiden Ferdinand Marcos mengundurkan diri pada 1986, atau peristiwa yang sama pada era Joseph Estrada pada 2001. Selain itu, peristiwa lain yakni The Battle of Seattle pada 1999. Peristiwa ini terjadi di Seattle, Amerika Serikat. Pada peristiwa itu, selain mahasiswa, kelompok antiperang, pejuang lingkungan, pejuang kaum perempuan, petani, yang berjumlah sekitar 50.000 orang ikut ambil bagian dalam menolak dilaksanakannya Konferensi WTO yang diadakan di kota itu. Hasilnya sangat mencengangkan, Konferensi WTO kisruh, sehingga terpaksa diakhiri dengan kegagalan dalam mencapai kebijakan penting.
Dari beberapa contoh diatas dapat disimpulkan bahwa berubahnya kebijakan penguasa akibat demonstrasi merupakan salah satu letupan-letupan kemenangan dari sebuah gerakan massa. Sehingga menjadi keniscayaan ketika akhirnya kita harus menjalankan alternatif format gerakan mahasiswa secara menyeluruh. Tapi, sebagai kaum intelektual yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kultural sebaiknya harus tetap berpihak kepada rakyat. Menurut Hamdan, salah satu mahasiswa di UMS berkomentar bahwa Dalam konteks sekarang, mahasiswa dituntut harus pandai-pandai dalam memilih gerakan yang tepat. Bayangkan apakah kita hanya bisa seperti Julian Benda yang hanya bisa berada di menara gading sambil memberikan wejanan-wejangan menyejukkan bagi rakyat tanpa sedikitpun turun ke bahwa untuk sekedar merangkul dan bercengkrama, atau kita mau seperti Antonio Gramsci dengan intelektual organiknya. Dia berpendapat bahwa, seorang akademisi sejati tidak hanya mampu bergerak pada ruang-ruang diskursus tapi Ia juga mampu mengabdikan dirinya pada ruang-ruang praktis untuk kepentingan rakyat. Maka dari itu semuanya punya cara dan jalannya masing-masing dan yang terpenting saat ini bagaimana mengkombinasi dan meracik semua alternatif gerakan tersebut agar menghasilkan sebuah formula gerakan mahasiswa yang massif dan immpresif.
Sekedar menegaskan kembali bahwa bagi mahasiswa senjata yang ampuh adalah kepalan tangan serta kata-kata. Kobaran semangat dengan pekik perjuangan bersama kawan-kawan sepenanggungan akan mampu menghasilkan kekuatan besar apabila bisa terakumulasi dengan baik. Kekuatan yang mampu mendobrak sebuah tirani kekuasaaan yang sama sekali tidak prorakyat. Maka dari itu, ada beberapa urgensi yang harus sama-sama kita pahami bahwa kenapa saat ini gerakan massa turun kejalan masih efektif dilakukan. Pertama, selain untuk lebih dekat dengan rakyat maka gerakan ini sebagai bentuk pressing movement kepada para penguasa yang sering kali buta rasa. Mereka yang berada dibalik meja dan berdiam diatas sofa terkadang suka lupa dengan problematika umat saat ini. Sebelum diangkat mereka dekat dengan masyarakat, Tapi setelah berkuasa mereka lupa dengan kepentingan rakyat. Maka dari itu, adalah sebuah kewajiban bagi kita untuk terus mengingatkan dan mengawasi setiap kebijakan dari Pemerintah. Kedua, aksi demonstrasi bisa sebagai media propaganda issue yang efektif untuk mensosialisasikan ide-ide kepada masyarakat. Ketiga, sebagai sarana pencerdasan publik secara massal dimana ketika kita beraksi maka tanpa disadari jutaan mata bersaksi.
Nah..dari paparan di atas, sekarang kita bisa menilai, mana yang akhirnya akan lebih efektif apakah demonstrasi yang membuat macet sementara tetapi berefek langsung merubah kebijakan penguasa ataukah hanya dengan berdiam diri berperang wacana lewat media tetapi belum tentu itu juga dibaca, didengar atau langsung dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan.
Wallahua’lam bis shawab..

0 comments: